Pelanggaran Undang-Undang Perindustrian oleh
"PT. FREEPORT INDONESIA"
1. Pendahuluan
Freeport
berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut
Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada
Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir
sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai
nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport
diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.
Mining International, sebuah
majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar
di dunia.
Pada tahun 2003 Freeport Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para
penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut laporan New
York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan 2004 mencapai hampir 20
juta dolar AS.
Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan penganiayaan terhadap para
penduduk setempat. Pada Tahun 2011 seorang buruh bernama Petrus Ajam Seba
seorang buruh di PT. Freeport terbunuh.
2. Pemegang
Saham
3. Hasil
Tambang
- Tembaga
- Emas
- Silver
- Molybdenum
- Rhenium
Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak jelas karena
hasil tambang tersebut di kapalkan ke luar Indonesia untuk dimurnikan sedangkan
molybdenum dan rhenium merupakan hasil sampingan dari pemrosesan bijih tembaga.
5. Kontroversi
Menurut karyawan
dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett, seorang
ahli geologi
kelahiran Louisiana,
yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan
dengan Presiden Soeharto
dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport
membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka,
termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua
belah pihak.
Surat-surat dan
dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para
pejabat pemerintah menunjukkan Kementerian
Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak
tahun 1997, Freeport
melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan
hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat
menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari
dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan
Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi
pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran
rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan
tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.
Sebuah studi
bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan
konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang
hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran
rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok
untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke
New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New
York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah
Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu
diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport
hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh
Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk
sampingan, banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum
pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.
Menyadap e-mail
Menurut seorang
pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam mengembangkan
suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis
lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka lakukan.
Freeport menolak mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan dengan
perwira-perwira intelijen TNI,
mulai menyadap korespondensi e-mail dan percakapan telepon lawan-lawan aktivis
lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat
dalam kegiatan ini dan bertugas membaca email-email tersebut.
Menurut bekas
karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sendiri
untuk mencuri berita-berita melalui email. Caranya adalah dengan membentuk
sebuah kelompok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang berminat
untuk mendaftar secara online dengan menggunakan kode rahasia (password)
tertentu. Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang
sama seperti yang mereka gunakan untuk email mereka. Dengan cara ini, Freeport
dengan gampang mencuri berita. Menurut seseorang yang waktu itu bekerja untuk
perusahaan ini, awalnya para pengacara Freeport khawatir dengan pencurian ini. Tetapi,
mereka kemudian memutuskan, secara legal perusahaan itu tidak dilarang untuk
membaca email pihak-pihak di luar negeri.
Keamanan
Dokumen-dokumen
Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para
jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer.
Setiap komandan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai
mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam dokumen itu.
Dokumen-dokumen
itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang yang dekat dengan
Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan Freeport sendiri,
dokumen-dokumen itu asli alias otentik. Dalam respon tertulisnya kepada New
York Times, Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah mengambil
langkah-langkah yang perlu sesuai dengan undang-undang Amerika Serikat dan
Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja yang aman bagi lebih dari 18.000
karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya. Freeport juga
mengatakan tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada
militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil dalam
kaitannya dengan hubungan dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga
keamanannya, adalah kegiatan bisnis biasa.
Dalam waktu
singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur
militer barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan dan
perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover
dan Land Cruiser, yang diganti
setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan
angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu
perusahaan ini sudah merekrut seorang bekas agen lapangan CIA, dan atas
rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang atase
militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta
dan memintanya untuk bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer
Amerika Serikat direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama
Perencanaan Operasi Darurat (Emergency Planning Operation) didirikan untuk
menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia.
Departemen
Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan pembayaran bulanan
kepada para komandan TNI, sementara kantor Pengelolaan Risiko Keamanan (Security
Risk Management office) mengatur pembayaran kepada polisi. Informasi ini
diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan dan keterangan bekas karyawan dan
karyawan Freeport. Menurut dokumen perusahaan, Freeport membayar paling sedikit
20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari
tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar
(sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada
jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.
New York Times menerima
dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun dari seorang yang dekat dengan
perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga tahun diberikan oleh Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan
laporan pada bulan Juli, yang berjudul Paying for Protection (Bayaran
Perlindungan) tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia. Diamird 0'Sullivan,
yang bekerja untuk Global Witness di London, mengkritik pembayaran yang
dilakukan Freeport itu.
Menurut
perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses
pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima New York Times menunjukkan
adanya pembayaran kepada perwira-perwira militer secara perseorangan yang didaftarkan
di bawah topik-topik seperti biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan
bulanan. Para komandan yang menerima dana tersebut tidak diharuskan
menandatangani tanda terima.
Pendeta Lowry,
yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap
menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada alasan
yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secara langsung kepada para
perwira militer itu.
Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan pasukan
di daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan tahun 2001, ia diberikan
hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya makanan, dan lebih dari
150.000 dolar pada tahun berikutnya. Pada tahun 2002, Freeport juga
memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari
350.000 dolar untuk biaya makan.
Menurut para
bekas karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan
kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara
perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis,
dan para perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir
Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun 2002 untuk dirinya dan
anggota keluarganya.
Jenderal Tarigan
yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan, para perwira polisi
dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi
adalah melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai.
Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor
Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam
buku keuangan Freeport sebagai "dana untuk rencana proyek militer tahun
2002".
Delapan bulan
kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari 67.000 dolar
untuk proyek aksi sipil kemanusiaan. Pembayaran-pembayaran ini pertama kali
dilaporkan Global Witness. Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur
Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai. Pada tahun 2003,
sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang Sarbanes-Oxley,
yang mengharuskan praktik-praktik akuntansi keuangan yang lebih ketat pada
perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit
militer ketimbang kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan
yang tersedia dan seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan
perusahaan ini.
Menurut catatan,
perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah angka 1 juta
dolar pada tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti "tambahan
pembayaran bulanan," "biaya administrasi" dan "dukungan
administratif." Freeport menyatakan kepada New York Times, di dalam
menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan kebijakan
perusahaan untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.”
Menurut catatan yang diterima oleh New York Times, pasukan paramiliter
polisi, yaitu Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari
200.000 dolar pada tahun 2003.
6. Peristiwa
Terjadi
pengusiran terhadap penduduk setempat yang melakukan pendulangan emas dari
sisa-sisa limbah produksi Freeport di Kali Kabur Wanamon. Pengusiran dilakukan
oleh aparat gabungan kepolisian dan satpam Freeport.
Akibat pengusiran ini terjadi bentrokan dan penembakan. Penduduk sekitar yang
mengetahui kejadian itu kemudian menduduki dan menutup jalan utama Freeport di
Ridge Camp, di Mile 72-74, selama beberapa hari. Jalan itu merupakan
satu-satunya akses ke lokasi pengolahan dan penambangan Grasberg.
Sekelompok
mahasiswa
asal Papua beraksi
terhadap penembakan di Timika sehari sebelumnya dengan merusak gedung Plasa 89
di Jakarta
yang merupakan gedung tempat PT Freeport Indonesia berkantor.
Masyarakat
Papua Barat yang tergabung dalam Solidaritas Tragedi Freeport menggelar unjuk
rasa di depan Istana, menuntuk presiden untuk menutup Freeport Indonesia. Aksi
yang sama juga dilakukan oleh sekitar 50 mahasiswa asal Papua di Manado.